21 tahun yang lalu seorang anak dilahirkan di sebuah keluarga sederhana. Sang Ayah, yang seorang pedagang, memanjatkan do'a, berharap sang anak diberikan hidup yang jauh lebih baik dari Sang Penguasa. Sang Ibu, seorang wanita pekerja kasar, memanjatkan do'a, berharap sang anak kelak akan menjadi seorang yang bermanfaat di masyarakat.
21 tahun berlalu, sang anak tumbuh besar, mengenal dunia. Ia bersanding dengan masyarakat, mencari jati diri dengan pesan yang diberikan oleh orang tuanya. Tidak satupun hari Ia berdiri di dunia tanpa memikirkan siapa Ia, untuk apa Ia dilahirkan.
21 tahun berlalu, sang anak diajarkan untuk tumbuh besar. Mengenal kebaikan, lalu keburukan sebagai pendamping. Dua hal yang tak dapat dipisahkan. Sang anak mengenal kasih sayang, senyuman. Ia berharap hidup akan tetap seperti itu. Namun tak pelak, keburukan datang mengajarkan sang anak arti kehidupan lebih besar dari sebuah kata bahagia yang Ia terima dari orang tuanya.
21 tahun berlalu, sang anak yang dilahirkan suci, mulai mengisi dan mewarnai hatinya dengan dunia. Ia tumbuh menjadi seorang yang mengerti apa itu kewibawaan. Ia pula mengerti apa itu rasa malu dan tanggung jawab. Berharap dunia mengerti apa yang Ia inginkan.
21 tahun berlalu, dunia berubah seperti dalam mimpinya. Tidak ada rasa bahagia, hanya sedih tak berkesudahan. Hatinya mulai gemetar dengan wajah dunia yang Ia hadapi hari ini. Seakan memberi pesan dunia akan berakhir seperti pula dalam mimpinya.
21 tahun berlalu, sang anak tak pula menemukan siapa dirinya. Berharap mampu merubah dunia, namun dunia justru merubah dirinya.
21 tahun berlalu, sang anak menutup hati kecilnya untuk dunia. Berharap dalam do'a keluarganya hidup dalam sebuah kebenaran. Ia pergi meninggalkan dunia,
Terima kasih Tuhan.
Komentar
Posting Komentar